by : Iwan Kurnianto
Head of Advocate Department at NGO LangsaT
Karakter menurut Hornby (1983:139) adalah kualitas mental atau moral yang membedakan seseorang, golongan berbeda dengan yang lain. Sigmund Freud (dalam Cahyani, 2010) mendefinisikan karakter sebagai .... a striving system which underly behavior. Bagi Freud, karakter merupakan kumpulan tata nilai yang terwujud dalam suatu sistem daya dorong (daya juang) yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku secara mantap. Pada umumnya karakater merupakan tata nilai yang terpatri dalam diri seseorang melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengurbanan, dan pengaruh lingkungan, serta melandasi sikap dan perilaku. Karakter bangsa dapat diartikan sebagai sistem nilai. Koentjaraningrat (1989) menyebutnya sebagai sikap mental yang secara ilmiah disebut sistem nilai budaya (cultural value system) dan sikap (attitude). Hampir senada dengan pengarang kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Hornby, Poerwadarminta (1984:445) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, mendefiniskan karakter sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti. Bisa ditarik benang merah dari kedua definisi bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti atau pendidikan moral. Budi pekerti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (poerwadarminta, 2003:170) adalah tingkah laku, akhlak dan watak. Budi merupakan alat batin yang merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik buruk; tabiat, akhlak, watak, perbuatan baik; daya upaya dan akal. Perilaku diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap) tidak hanya badan tetapi juga ucapan. Terkait dengan pendidikan budi
pekerti, Zakaria (2002:1) menyatakan bahwa bahwa pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia, warga masyarakat dan warga negara yang baik.
Pendidikan karakter menjadi isu penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Upaya menghidupkan kembali pendidikan karakter sebagaimana amanat Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam konteks ini, penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilainilai pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, serta kegigihan sebagai basis karakter yang baik.
Makna pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Pendidikan adalah “Usaha sadar dan terencana untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak, serta keterampilan ”. Disebutkan juga bahwa pendidikan nasional adalah “Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia”.
Secara makro pendidikan yang diselenggarakan baik pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi ialah membina manusia yang berkarakter sehingga tidak menyusahkan orang lain ketika terjun di masyarakat. (Santoso 1980;Oemarjati 1979; 1991a. Dwiarso 2008). Kata membina mengandung arti menanamkan bibit pengetahuan, memelihara, mengarahkan dan menumbuhkannya
Ciri-ciri orang yang berkarakter dari segi individu, mempunyai sifat pandai dan terampil, jujur, tertib, tahu batas kemampuannya, serta tahu akan harga dirinya. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan ialah pembinaan watak anak didik sesuai dengan kodrat anak didik (Santoso 1980). Pandai tidak hanya dari segi intelektual, melainkan juga praktis (terampil). Sifat jujur yaitu adanya kesesuaian antara kata dan perbuatan seseorang. Tertib atau disiplin berarti patuh pada peraturan yang berlaku selingkung atau yang berlaku dalam masyarakat, tanpa perlu pengawasan Tahu diri atau tahu batas kemampuan diri sendiri. Sifat tahu diri tersebut sangat erat dengan sifat kelima, yaitu tahu akan harga dirinya.
Selanjutnya Hatta (dalam Alwee:2008)Orang yang berkarakter tahu menghargai pendapat orang lain yang berlainan dengan pendapatnya. Ia berani membela kebenaran yang telah menjadi keyakinannya terhadap siapapun juga. Ia tak segan mempertahankan pendapatnya, sekalipun bertentangan dengan pendapat umum. Tetapi, ia juga berani melepaskan sesuatu keyakinan ilmiah, pabila suatu waktu logika yang lebih kuat dan kenyataan yang lebih lengkap membuktikana salahnya. Hanya dengan pendirian yang kritis itu ilmu dapat dimajukan Dalam memelihara dan memajukan ilmu, karakterlah yang terutama, bukan kecerdasan. Kurang kecerdasan boleh diisi, kurang karakter sukar memenuhinya, seperti ternyata dengan berbagai bukti di dalam sejarah. karena karakter itu pula ilmu dapat berjalan terus.